Sabtu, 10 Januari 2015

Rote... We are Coming

Terlahir di Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak berarti sudah pernah menjelajahi seluruh pulau termasuk pulau-pulau kecil yang terletak di propinsi ini. NTT memiliki kurang lebih 550 pulau (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Timur) dengan empat pulau besar yaitu Flores, Sumba, Timor dan Alor yang disingkat Flobamora. Setiap pulau ini memiliki potensi wisata yang sayangnya belum dikembangkan dengan baik oleh pemerintah daerah. Salah satunya adalah pulau Rote. Mendengar nama ini, kita akan teringat pada pelajaran IPS di sekolah dasar yang menyebutkan bahwa batas terluar di bagian selatan Indonesia adalah P. Rote. Dan akhirnya, sebuah perjalanan tak terencana datang di akhir November 2014 untuk mengunjungi Rote. Detail ceritanya dan apa saja destinasi wisata yang dapat dikunjungi dapat disimak di bawah ini. 

Libur tak terduga di akhir November memberikan bonus berwisata disela-sela aktifitas. Tidak tanggung-tanggung, liburnya sebanyak 6 hari ditambah 1 hari minggu. Bahagia sekali rasanya... Kesempatan untuk memperkenalkan wisata NTT kepada seorang teman baru ikut memperkuat perjalanan ini. Pendek cerita, berangkatlah kami dari kota Atambua, kota tempat saya bekerja ke Kupang. Perjalanan ditempuh sekitar 7 jam dengan bus. 
Peta NTT

 (Garis kuning menunjukkan jarak kota Atambua dan Kupang, sedangkan P. Rote dalam kotak merah ) 
Sumber foto: http://www.jelajahntt.com/p/profil-wilayah.html
Tiba di Kupang, kami bergabung dengan tiga orang teman lainnya dan bersiap untuk ke Rote keesokan harinya. Perjalanan ke Rote menggunakan kapal cepat yang ditempuh dalam waktu tiga jam, dengan ongkos Rp150.000. Kapal cepat ini bertolak dari Pelabuhan Tenau-Kupang pada pukul 10.00 wita. Sesampainya di pelabuhan Ba’a-Rote, kami langsung meneruskan perjalanan ke arah barat Rote menuju pantai Nemberala dengan maksud akan menikmati sunset sore harinya.

Di desa Nemberala, kami menginap di rumah penduduk. Rumah itu sebenarnya bukan penginapan, tetapi kos-kosan. Pemilik rumah mengijinkan kami menggunakan lima kamar yang kosong di rumahnya dengan membayar Rp100.000 per orang. Ongkos yang bersahabat...

Rasa lapar tidak menghalangi kami untuk segera menikmati pantai meskipun matahari masih sangat terik. Sesampainya di rumah tempat kami menginap, sebuah rumah penduduk yang sederhana Keempat teman saya langsung bersiap-siap menikmati laut yang jernih seolah sudah sangat lama tak bertemu laut. Saya sendiri memilih untuk menunggu sore. Sebenarnya jika kami datang pada bulan Agustus-September kami dapat menikmati ombak yang tinggi, yang sering dijadikan sebagai arena surfing bagi para peselancar. Pantai lain yang tidak jauh dari pantai Nemberala juga menjadi spot favorit para peselancar, yaitu pantai Bo’a. Bahkan, di pantai Bo’a sering dijadikan arena penyelenggaraan surfing internasional.

Ternyata penantian saya pun tidak sia-sia. Saya bertemu dengan seorang Ibu petani rumput laut, mama Very namanya. Menurut mama Very, desa Nemberala adalah salah satu daerah penghasil rumput laut di pulau Rote bahkan menjadi komoditas ekspor. Dari hasil bertani rumput laut inilah mama Very berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga lulus dan sudah mempunyai penghasilan sendiri. Menurut mama Very, anak-anaknya memintanya agar tidak lagi meneruskan pekerjaan ini, tetapi bagi mama Very, ia sangat menikmati bertani rumput laut dan senang karena mempunyai aktifitas di masa tua. Saya memperhatikan dan membantunya mengikatkatkan bibit-bibit rumput laut pada seutas tali yang akan diikatkan pada tiang-tiang yang telah dipasang di laut. 
Mama Very sedang mengikat bibit-bibit rumput laut

Air Surut menampakkan pantai berpasir yang bersih
(Di kejauhan nampak perahu mama Very yang masih sibuk meletakkan bibit-bibit rumput laut)

Berendam sambil berbincang dan menikmati sunset
 (Jangan salah ya, tiga titik hitam itu sebenarnya orang, hehe... )

Kegiatan yang sangat menyenangkan hingga matahari hari ini benar-benar pergi dan diganti dengan malam. Sepulang dari pantai, kami menikmati makan malam di sebuah restoran. Makanan yang disajikan cukup familiar bagi keempat teman saya, tetapi nasi goreng rasa western sangat tidak akrab di lidah saya. Tapi, sayang sekali, saya tidak punya pilihan lain. Setelah makan malam, kami bercerita tentang banyak hal termasuk rencana perjalanan untuk hari kedua dan menyempatkan bermain billiard yang disediakan oleh pihak restaurant. Pulangnya, kami harus jalan kaki sekitar 20 menit untuk kembali ke rumah tempat kami menginap. Dalam perjalanan, kami dapat melihat bintang-bintang yang banyak dan gemerlap dengan langit yang jernih. Sebuah pemandangan yang hampir tidak pernah dilihat ketika tinggal di kota Semarang (Jawa Tengah). 



Hari kedua, kami kembali ke kota Ba’a (Rote Tengah) untuk menikmati destinasi wisata yang lain. Kami tiba sekitar pukul 09.00 wita dan langsung mencari penginapan untuk menyimpan barang bawaan. Kami memutuskan menyewa sepeda motor agar lebih mudah untuk berkeliling. Harga sewa sepeda motor adalah Rp150.000/motor. Untuk penginapannya sendiri, kami menginap di hotel “Grace” dekat dengan pelabuhaan Ba’a. Hotelnya bersih, nyaman dan sudah ber-AC dengan tarif yang cukup terjangkau. Kami mengambil 2 kamar. Harga sewa kamar Rp250.000 dan ditambah Rp50.000 untuk extra bed.

Perjalanan hari kedua diawali dengan makan soto di depan Puskesmas yang dekat dengan alun-alun kota Ba’a. Meskipun makan soto adalah pengalaman pertama bagi sebagian dari kami, tapi bagi saya, saya sangat bersyukur karena soto pagi ini benar-benar membayar lunas rasa lapar yang ditahan sejak kemarin. Bukit Termanu adalah destinasi kami yang pertama di hari kedua ini. Perjalanan dari kota Ba’a ke tempat ini tidak jauh, hanya menempuh 10-15 menit. Pemandangan sepanjang jalan menuju ke bukit Termanu, benar-benar memanjakan mata kami. Pulau ini ter-selatan ini benar-benar indah. Sayangnya, saya tidak dapat mengambil foto-fotonya karena mengendarai sepeda motor. Tapi, ingatan tentang cantiknya sepanjang pantai tersebut masi terbayang dengan jelas bahkan ketika menuliskan cerita ini (setelah 2 bulan berlalu).  

Batu Termanu merupakan bukit batu yang terletak di pinggir pantai tepatnya berada di sebuah tanjung. Batu Termanu sangat menarik. Ada sebuah batu yang menarik perhatian kami yaitu batu yang berbentuk seperti kepala buaya. Masing-masing kami memilih cara sendiri untuk menikmati pantai ini. Zee menikmati membaca bukunya diantara bebatuan yang menyerupai gua kecil. Jay memilih untuk tidur-tiduran di pasir begitupun dengan Josh. Sementara saya dan Raul memilih untuk mengeksplore lokasi baru tersebut dengan mendaki Batu Termanu sampai puncak. Dari puncak, kami dapat melihat panorama menakjubkan, hamparan birunya laut hingga bukit-bukit gersang yang ditumbuhi pohon-pohon lontar. 
Mirip kan dengan kepala buaya?





Tak terasa hari sudah siang dan air laut semakin pasang. Kami takut terjebak diantara bebatuan dan tidak bisa pergi dari tempat tersebut dalam keadaan tidak basah.Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 wita, kami melanjutkan untuk mengunjungi rumah seorang teman. Niatnya, disana kami akan langsung menuju ke kebun lontar dan mengetahui cara pembuatan gula air (komoditas lain dari penduduk di pulau Rote). Di kebun lontar milik keluarga kak Adi (seorang teman lama di Malang), tidak begitu jauh dari Ba’a, tetapi jalan menuju kesana tidak semulus jalanan di kota, jalannya masih pengerasan, atau sudah beraspal tetapi rusak. Di kebun lontar, kami melihat dengan lincahnya kak Max memanjat pohon lontar untuk mengambil nira. Kami diberi kesempatan untuk mencicipi rasa nira yang baru saja diambil dari pohon. Kami juga disuguhkan kelapa muda, sangat menyenangkan dan juga mengenyangkan sebagai pengganti makan siang. Tidak lupa, kami melihat secara langsung nira yang dimasak dan kemudain menjadi gula air. Menurut kak Bea (istri dari kak Max), gula air inilah yang kemudian diproduksi menjadi gula merah/gula lempeng ataupun dijadikan sopi setelah difermentasikan dengan ragi yang dibawa oleh akar pohon laru disebut “laru”, laru ini mengandung sedikit alkohol dan bersoda. Laru kemudian di destilasi untuk menghasilkan embun sopi. Sopi ini mengandung alkohol > 40%.

Lihatlah! Ada kak Max di puncak lontar

Menikmati kelapa muda, termasuk mencoba membelah kelapa :)

Berfoto bersama sebelum melanjutkan perjalanan. Tampak di belakang ada tungku untuk memasak nira menjadi gula air


Waktu menunjukkan pukul 16.00 wita, namun perjalanan kami belum berakhir. Selanjutnya, kami menuju ke bukit Mando’o, sebuah tempat tertinggi di pulau Rote. Menurut info dari penduduk sekitar, pada malam hari kita dapat melihat lampu-lampu di kejauhan yang berasal dari benua Australia. Untuk sampai di bukit Mando’o kami menempuh perjalanan selama 1 jam melewati jalan yang lagi-lagi kurang terawat dan melewati sejumlah anak tangga. Bukit Mando’o juga dikenal dengan “Tangga 300” padahal jumlah anak tangga sebenarnya lebih dari 358, yaitu sebanyak 482 anak tangga. Kami kembali ke Ba’a setelah matahari terbenam dan sampai sekitar pukul 20.00 wita. Waktunya makan malam setelah seharian berpetualangan. Ikan bakar di alun-alu kota Ba’a menjadi pilihan kami. Memang, kami tidak salah pilih, ikan bakar tersebut sangat enak mungkin karena ikannya segar dan racikan bumbunya yang mantab, atau mungkin karena kami benar-benar sangat lapar saat itu. Malam itu kami kembali ke penginapan, membersihkan diri, dan tak ada satupun diantara kami yang melakukan aktifitas lain selain tidur.



Pagi harinya, saya menikmati sendiri sarapan pagi, segelas teh manis dan roti yang disediakan pihak hotel, sedangkan yang lain masih menikmati tidurnya hingga waktu dhuha. Hari ini kami akan kembali ke Kupang. Setelah semuanya bangun, kami meninggalkan hotel dan berjalan kaki menuju pelabuhan. Kami melewati pasar, melihat sekeliling dan membeli beberapa oleh-oleh. Tidak banyak yang kami temui, oleh-oleh yang ada berupa tenun Rote dan beberapa olahan gula air. Kami tidak menemui toko khusus yang menjual souvenir khas dari Rote. Lagian, uang cash yang kami bawa juga sudah menipis. Sebagai informasi ATM yang ada hanya ATM BRI dan Bank NTT. Tetapi, apapun itu, dengan kota yang belum berkembang, infrastruktur yang kurang terawat, dan segala keterbatasan yang ada, liburan “dadakan” kali ini sungguh sangat menyenangkan. Rote sebagai pulau terluar di bagian selatan Indonesia menyembunyikan kecantikan alam yang mempesona...  



 








Selasa, 27 Agustus 2013

Varanus Komodoensis

Varanus Komodoensis adalah nama latin dari sang  reptil raksasa Komodo.  Bisa melihat langsung reptil ini adalah salah satu keinginan saya ketika jalan-jalan ke Flores. Sengaja edisi tentang Komodo dan pulau di sekitarnya ini saya tulis dalam judul berbeda dari postingan sebelumnya, meskipun masih sama-sama di Pulau Flores NTT juga :)

Let's check it out
Perahu-perahu untuk mengantar pengunjung
Ini  adalah perahu-perahu yang dipakai untuk mengantarkan pengunjung ke tempat yang diminatinya. Ada dua pilihan destinasi yang sering dikunjungi adalah ke kawasan Pulau Rinca atau ke kawasan Pulau Komodo. Letak P. Komodo lebih jauh dari P. Rinca sehingga trip yang ditawarkan untuk ke pulau Komodo minimal 2H1M. Untuk one day trip kamu bisa memilih cukup ke P. Rinca. 


Selamat datang di Loh Buaya-Pulau Rinca

Mengikuti sang komodo dan ranger (sebutan untuk pemandu sekaligus pamong) 

Taraaa..... ini dia si Komodo Dragon

Setelah berkeliling di pulau Rinca dengan mengambil rute medium. Kami melanjutkan mengunjungi pulau Kelor. Tidak semua pulau di kawasan P. Rinca mempunyai pantai berpasir, umumnya berbentuk bukit dengan batu karang di sekelilingnya. 
Pulau Kelor memberikan pemandangan berbeda, terdiri dari pantai dengan pasir yang putih, laut yang jernih dengan ikan-ikan kecil beragam varian (cocok untuk bersnokelling), 
dan bukit sabana. Saya mencoba mendaki ke puncak bukit ini, meskipun kemiringan bukit mencapai 70 derajat (kira-kira sih :)). Dan pemandangan dari atas, sungguh sangat menakjubkan.... Cantik sekali ... #speechless
labuan bajo
Pemandangan elok di puncak pulau kelor

Sabtu, 24 Agustus 2013

Wisata Flores

Jalan-jalan kali ini di mulai dari kota Ende. Ingat Ende jadi ingat bahwa Bung Karno. Bung Karno pernah diasingkan di kota ini. Rumah pengasingannya pun masih terawat dengan baik, sayang petugas yang menjaga sering tidak ada, sehingga pengunjung tidak bisa mengetahui isi dari rumah pengasingan ini. Beberapa wisatawan juga kecewa karena tidak menjumpai petugas yang menjaga rumah ini. Hmmm...
Perjalanan hari berikutnya, menuju kabupaten Ngada. Penasaran banget dengan perkampungan adat suku Bena. Penduduk di sana masih mempertahankan tempat tinggal di rumah yang beratap ijuk dan masih berlantai tanah. Tempat ini menjadi warisan desa megalitikum. Ini terlihat dari peninggalan meja-meja batu, tempat meletakkan sesaji untuk acara perayaan. 

Next: Danau Tiga Warna Kelimutu
Kata orang belum ke Flores kalo belum ke Kelimutu. Danau Kelimutu adalah salah satu wisata favorit setiap wisatawan baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Tempat ini tidak pernah sepi dari pengunjung. Danau Kelimutu memiliki tiga kawah dengan warna berbeda. Dua kawah berdekatan dan satu kawah yang letaknya terpisah. Pemandangan tiga kawah bisa dinikmati jika kita mencapai tugu di puncak gunung Kelimutu. Waktu berkunjung kesana, tiga kawah yaitu 1) Tiwu ata polo-berwarna hijau tosca, 2) Tiwu Muri Koo Fai-berwarna biru langit cerah, dan 3) Tiwu - berwarna hijau gelap bening (halah.... :))
Tiwu Ata Polo

Tiwu Muri Koo Fai

Jumat, 09 Agustus 2013

Likurai Sambut Rombongan Sail Komodo 2013

Gadis ini bersama dengan sekitar 200 teman-temannya menyambut rombongan sail komodo yang tiba di Kolam Gurita, Pelabuhan Ferry Kabupaten Belu-NTT. Mereka mempersembahkan sebuah tarian tradisional asli dari Kabupaten Belu. Tarian ini adalah tarian Likurai, ditarikan oleh para wanita (feto) dengan menggunakan gendang kecil yang dijepit di bawah ketiak.                                           Gendang dipukul dengan irama gembira sambil menari berlenggak-lenggok dengan irama yang cepat. Tarian ini dahulunya adalah tarian untuk menyambut para pahlawan yang baru kembali dari medan perang. Sekarang, tarian ini sering ditarikan untuk menyambut para tamu. 
Inilah tamu yang disambut oleh gadis-gadis penari. Tampak wisatawan antusias dengan sambutan yang diberikan. Dalam rangka sail komodo yang puncaknya pada tanggal 4 September, beberapa rombongan melalui rute berbeda yang akan bertemu nantinya di Labuan Bajo untuk bersama-sama berlayar di kawasan Taman Nasional Komodo. 


Tidak hanya mempersembahkan tarian likurai, rombongan pelajar SD juga mempersembahkan orkes suling bambu. Dengan arahan dari guru mereka, gadis-gadis cilik ini dengan piawai memainkan suling yang terbuat dari bambu. Dengan syahdu mereka memainkan lagu-lagu tradisional Belu mengiringi tiga orang rekannya yang menari. 
Senang sekali perjalanan tak sengaja kali ini dapat menyaksikan antusias remaja dan anak-anak putra putri Belu menampilkan tarian tradisional. Semoga tetap selalu seperti ini sampai kapanpun. Cinta Budaya Belu... 

Selasa, 21 Agustus 2012

Pesona Tanjung Bastian

Pantai Tanjung Bastian, adalah salah satu pantai di daerah Wini, di pulau Timor. Daerah Wini terletak di kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) provinsi Nusa Tenggara Timur. Pantai ini belum begitu terkenal di kalangan wisatawan luar. Pantai yang tersembunyi di sebuah tanjung. Pemandangan pantai yang tersembunyi ini sangat antik dengan lautnya yang biru. 

Di sekeliling pantai ini, berjajar bukit-bukit berbatu. Bukit-bukitnya berwarna hitam, seperti lahan terbakar. Entah karena ada panas bumi atau lainnya, namun pemandangan ini membuat Tanjung Bastian mempunyai pesona sendiri yang memikat. 

Rabu, 11 Januari 2012

Semarang Episode 1

  • Lawang Sewu
Lawang Sewu

Kali ini saya akan bercerita tentang beberapa tempat wisata di Semarang yang pernah saya kunjungi. Dimulai dengan Lawang Sewu. Kalau ditanya, apa sih tempat wisata di Semarang? Pasti salah satu jawabannya adalah Lawang Sewu. 
Terkenal dengan nama Lawang Sewu (diambil dari bahasa Jawa yang artinya Seribu Pintu) karena bangunan ini memiliki banyak pintu. Meskipun jika dihitung jumlah pintunya tidak sampai seribu. Menurut guide yang mengantarkan saat itu, jumlah pintu di Lawang Sewu berjumlah 429. Kalau jumlah daun pintunya juga dihitung malah lebih dari 1000, wow (ada pintu dengan 2 atau 4 daun pintu).  
Lokasinya berada di pusat kota Semarang, tepatnya di bundaran Tugu Muda. Dari luar kita disuguhkan dengan arsitektur bangunan yang megah dan kokoh. Benar sekali, bangunan ini sudah berumur sekitar 106 tahun sejak selesai dibangun pada tahun 1907. Dahulunya, Lawang Sewu merupakan kantor NIS (Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij). Namun, pada masa penjajahan Jepang, gedung ini beralih fungsi menjadi markas militer Jepang (kempeteai). Kempeteai terkenal kejam, dan sering menggunakan beberapa ruangan gedung sebagai penjara dan tempat penyiksaan kepada para tawanan. Karena itulah bangunan tua ini juga terkenal "angker". 

Salah satu bagian gedung A

Bangunan megah ini merupakan rancangan arsitek Belanda yaitu Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Ouendag. Terdiri dari dua gedung utama, yaitu gedung A dan gedung B, serta gedung C sebagai museum. Jika diperhatikan dengan seksama, kondisi kedua gedung ini berbeda. Material yang digunakan untuk membangun Gedung A didatangkan langsung dari Belanda termasuk genteng, marmer dan keramik yang digunakan. Sedangkan gedung B materialnya berasal dari dalam negeri. Di gedung C, beberapa material dipajang untuk menunjukkan perbedaannya.  Secara keseluruhan, gedung A memang jauh lebih kokoh dan megah dari gedung B. Beberapa bagian di gedung B pun sudah tampak rapuh dan berjamur. 

  • Masjid Agung Jawa Tengah
Bagian Depan MAJT
Bangunan megah berikutnya yang dapat dikunjungi di Semarang adalah Masjid Agung Jawa Tengah atau yang terkenal dengan sebutan MAJT. Tidak sulit menemukan masjid ini, dari simpang lima (pusat kota Semarang) cukup berkendara sekitar 15 menit. Tepatnya, masjid ini terletak di jalan Gajah Raya, Sambirejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang.
Arsitektur bangunan sangat menarik dengan gaya arsitektural campuran Jawa, Timur Tengah dan Romawi. Arsiteknya adalah Ir. H. Ahmad Fanani yang memenangkan lomba desain MAJT. Arsitektur Jawa nampak pada bentuk atap masjid yaitu berupa limas khas bangunan Jawa. Gaya Timur Tengah dapat dilihat dari kubah dan empat mineratnya. Sedangkan pengaruh Romawi jelas terlihat dari 25 pilar berwarna ungu yang dipadukan dengan kaligrafi. Pilar melingkar ini mengingatkan kita pada bangunan Coloseum di Roma.
Masjid ini juga dilengkapi dengan fasilitas convention hall, hotel, perpustakaan, kios souvenir, kios makanan, dan juga menara pandang.
MAJT tampak dari menara Al-Husna
Yang istimewa dari menara pandang adalah menara ini tingginya 99 meter seperti banyaknya nama-nama Allah atau Asmaul Husna. Karena itu juga, menara ini disebut dengan menara Al-Husna. Di tengah masjid terdapat 6 payung hidrolik yang dibuka-tutup pada saat-saat tertentu, biasanya pada hari raya atau hari jumat.

Bersambung ke episode 2 ^_^

Minggu, 26 Juni 2011

Jendela Flora Nusantara

Taman Bunga Nusantara (TBN) di desa Kawungluwuk Kecamatan Sukaresmi - Cianjur, Jawa Barat merupakan miniatur dari keragaman flora di nusantara, khususnya bunga. Tempat ini dapat dijadikan rujukan tempat berlibur keluarga. Keseluruhan luas taman adalah 35 hektar. Tetapi tidak perlu khawatir akan capek berkeliling dengan jalan kaki, karena pihak TBN menyediakan fasilitas kereta untuk mengantar pengunjung berkeliling ke seluruh area TBN. 
  
bunga-bunga ditata dengan apik dalam berbagai rupa

Beberapa destinasi dalam TBN ini antara lain Menara Pandang, Jam Taman Raksasa, Candi Bentar dengan ornamen Bali, Air Mancur musikal, Danau Angsa, Taman khusus (Gaya Perancis, Gaya Jepang, Gaya Bali, Gaya Mediterania), Rumah Kaca, dan area pembibitan. Ada juga taman labyrinth, taman dengan tanaman pagar yang tinggi, dengan banyak sekat untuk mencari jalan keluar. Meskipun sempat panik tak kunjung menemukan jalan keluar, namun bermodal lompat-lompat (hahaha...nyontek jalan keluar) akhirnya selamat juga...! Padahal jika dilihat dari menara pandang, kita dapat menemukan jalan keluar dengan mudah.