Terlahir di Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak berarti sudah pernah menjelajahi seluruh pulau termasuk pulau-pulau kecil yang terletak di propinsi ini. NTT memiliki kurang lebih 550 pulau (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Timur) dengan empat pulau besar yaitu Flores, Sumba, Timor dan Alor yang disingkat Flobamora. Setiap pulau ini memiliki potensi wisata yang sayangnya belum dikembangkan dengan baik oleh pemerintah daerah. Salah satunya adalah pulau Rote. Mendengar nama ini, kita akan teringat pada pelajaran IPS di sekolah dasar yang menyebutkan bahwa batas terluar di bagian selatan Indonesia adalah P. Rote. Dan akhirnya, sebuah perjalanan tak terencana datang di akhir November 2014 untuk mengunjungi Rote. Detail ceritanya dan apa saja destinasi wisata yang dapat dikunjungi dapat disimak di bawah ini.
Libur tak terduga di akhir November memberikan bonus berwisata disela-sela aktifitas. Tidak tanggung-tanggung, liburnya sebanyak 6 hari ditambah 1 hari minggu. Bahagia sekali rasanya... Kesempatan untuk memperkenalkan wisata NTT kepada seorang teman baru ikut memperkuat perjalanan ini. Pendek cerita, berangkatlah kami dari kota Atambua, kota tempat saya bekerja ke Kupang. Perjalanan ditempuh sekitar 7 jam dengan bus.
Peta NTT |
(Garis kuning menunjukkan jarak kota Atambua dan Kupang, sedangkan P. Rote dalam kotak merah )
Sumber foto: http://www.jelajahntt.com/p/profil-wilayah.html
Tiba di Kupang, kami
bergabung dengan tiga orang teman lainnya dan bersiap untuk ke Rote keesokan
harinya. Perjalanan ke Rote menggunakan kapal cepat yang ditempuh dalam waktu
tiga jam, dengan ongkos Rp150.000. Kapal cepat ini bertolak dari Pelabuhan
Tenau-Kupang pada pukul 10.00 wita. Sesampainya di pelabuhan Ba’a-Rote, kami
langsung meneruskan perjalanan ke arah barat Rote menuju pantai Nemberala dengan
maksud akan menikmati sunset sore harinya.
Di desa Nemberala, kami
menginap di rumah penduduk. Rumah itu sebenarnya bukan penginapan, tetapi kos-kosan.
Pemilik rumah mengijinkan kami menggunakan lima kamar yang kosong di rumahnya
dengan membayar Rp100.000 per orang. Ongkos yang bersahabat...
Rasa lapar tidak menghalangi
kami untuk segera menikmati pantai meskipun matahari masih sangat terik. Sesampainya
di rumah tempat kami menginap, sebuah rumah penduduk yang sederhana Keempat
teman saya langsung bersiap-siap menikmati laut yang jernih seolah sudah sangat
lama tak bertemu laut. Saya sendiri memilih untuk menunggu sore. Sebenarnya
jika kami datang pada bulan Agustus-September kami dapat menikmati ombak yang
tinggi, yang sering dijadikan sebagai arena surfing bagi para peselancar.
Pantai lain yang tidak jauh dari pantai Nemberala juga menjadi spot favorit
para peselancar, yaitu pantai Bo’a. Bahkan, di pantai Bo’a sering dijadikan
arena penyelenggaraan surfing internasional.
Ternyata penantian saya
pun tidak sia-sia. Saya bertemu dengan seorang Ibu petani rumput laut, mama
Very namanya. Menurut mama Very, desa Nemberala adalah salah satu daerah penghasil
rumput laut di pulau Rote bahkan menjadi komoditas ekspor. Dari hasil bertani rumput
laut inilah mama Very berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga lulus dan
sudah mempunyai penghasilan sendiri. Menurut mama Very, anak-anaknya memintanya
agar tidak lagi meneruskan pekerjaan ini, tetapi bagi mama Very, ia sangat
menikmati bertani rumput laut dan senang karena mempunyai aktifitas di masa tua.
Saya memperhatikan dan membantunya mengikatkatkan bibit-bibit rumput laut pada
seutas tali yang akan diikatkan pada tiang-tiang yang telah dipasang di laut.
Mama Very sedang mengikat bibit-bibit rumput laut |
Air Surut menampakkan pantai berpasir yang bersih |
(Di kejauhan nampak perahu mama Very yang masih sibuk meletakkan bibit-bibit rumput laut)
Berendam sambil berbincang dan menikmati sunset |
(Jangan salah ya, tiga titik hitam itu sebenarnya orang, hehe... )
Kegiatan
yang sangat menyenangkan hingga matahari hari ini benar-benar pergi dan diganti
dengan malam. Sepulang dari pantai, kami menikmati makan malam di sebuah
restoran. Makanan yang disajikan cukup familiar bagi keempat teman saya, tetapi
nasi goreng rasa western sangat tidak akrab di lidah saya. Tapi, sayang sekali,
saya tidak punya pilihan lain. Setelah makan malam, kami bercerita tentang
banyak hal termasuk rencana perjalanan untuk hari kedua dan menyempatkan bermain
billiard yang disediakan oleh pihak restaurant. Pulangnya, kami harus jalan
kaki sekitar 20 menit untuk kembali ke rumah tempat kami menginap. Dalam
perjalanan, kami dapat melihat bintang-bintang yang banyak dan gemerlap dengan langit
yang jernih. Sebuah pemandangan yang hampir tidak pernah dilihat ketika tinggal
di kota Semarang (Jawa Tengah).
Hari kedua, kami kembali
ke kota Ba’a (Rote Tengah) untuk menikmati destinasi wisata yang lain. Kami
tiba sekitar pukul 09.00 wita dan langsung mencari penginapan untuk menyimpan
barang bawaan. Kami memutuskan menyewa sepeda motor agar lebih mudah untuk
berkeliling. Harga sewa sepeda motor adalah Rp150.000/motor. Untuk
penginapannya sendiri, kami menginap di hotel “Grace” dekat dengan pelabuhaan
Ba’a. Hotelnya bersih, nyaman dan sudah ber-AC dengan tarif yang cukup terjangkau.
Kami mengambil 2 kamar. Harga sewa kamar Rp250.000 dan ditambah Rp50.000 untuk
extra bed.
Perjalanan hari kedua diawali dengan makan
soto di depan Puskesmas yang dekat dengan alun-alun kota Ba’a. Meskipun makan
soto adalah pengalaman pertama bagi sebagian dari kami, tapi bagi saya, saya
sangat bersyukur karena soto pagi ini benar-benar membayar lunas rasa lapar
yang ditahan sejak kemarin. Bukit Termanu adalah destinasi kami yang pertama di
hari kedua ini. Perjalanan dari kota Ba’a ke tempat ini tidak jauh, hanya
menempuh 10-15 menit. Pemandangan sepanjang jalan menuju ke bukit Termanu,
benar-benar memanjakan mata kami. Pulau ini ter-selatan ini benar-benar indah.
Sayangnya, saya tidak dapat mengambil foto-fotonya karena mengendarai sepeda
motor. Tapi, ingatan tentang cantiknya sepanjang pantai tersebut masi terbayang
dengan jelas bahkan ketika menuliskan cerita ini (setelah 2 bulan berlalu).
Batu Termanu merupakan bukit batu yang terletak di pinggir pantai tepatnya berada
di sebuah tanjung. Batu Termanu sangat menarik. Ada sebuah batu yang menarik
perhatian kami yaitu batu yang berbentuk seperti kepala buaya. Masing-masing
kami memilih cara sendiri untuk menikmati pantai ini. Zee menikmati membaca
bukunya diantara bebatuan yang menyerupai gua kecil. Jay memilih untuk
tidur-tiduran di pasir begitupun dengan Josh. Sementara saya dan Raul memilih
untuk mengeksplore lokasi baru tersebut dengan mendaki Batu Termanu sampai
puncak. Dari puncak, kami dapat melihat panorama menakjubkan, hamparan birunya
laut hingga bukit-bukit gersang yang ditumbuhi pohon-pohon lontar.
Mirip kan dengan kepala buaya? |
Tak terasa hari sudah siang dan air laut semakin pasang. Kami takut
terjebak diantara bebatuan dan tidak bisa pergi dari tempat tersebut dalam
keadaan tidak basah.Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 wita, kami melanjutkan
untuk mengunjungi rumah seorang teman. Niatnya, disana kami akan langsung
menuju ke kebun lontar dan mengetahui cara pembuatan gula air (komoditas lain
dari penduduk di pulau Rote). Di kebun lontar milik keluarga kak Adi (seorang
teman lama di Malang), tidak begitu jauh dari Ba’a, tetapi jalan menuju kesana tidak
semulus jalanan di kota, jalannya masih pengerasan, atau sudah beraspal tetapi
rusak. Di kebun lontar, kami melihat dengan lincahnya kak Max memanjat pohon
lontar untuk mengambil nira. Kami diberi kesempatan untuk mencicipi rasa nira yang
baru saja diambil dari pohon. Kami juga disuguhkan kelapa muda, sangat
menyenangkan dan juga mengenyangkan sebagai pengganti makan siang. Tidak lupa,
kami melihat secara langsung nira yang dimasak dan kemudain menjadi gula air.
Menurut kak Bea (istri dari kak Max), gula air inilah yang kemudian diproduksi
menjadi gula merah/gula lempeng ataupun dijadikan sopi setelah difermentasikan
dengan ragi yang dibawa oleh akar pohon laru disebut
“laru”, laru ini mengandung sedikit alkohol dan bersoda. Laru kemudian di
destilasi untuk menghasilkan embun sopi. Sopi ini mengandung alkohol > 40%.
Lihatlah! Ada kak Max di puncak lontar |
Menikmati kelapa muda, termasuk mencoba membelah kelapa :) |
Berfoto bersama sebelum melanjutkan perjalanan. Tampak di belakang ada tungku untuk memasak nira menjadi gula air |
Waktu menunjukkan pukul 16.00 wita, namun perjalanan kami belum berakhir. Selanjutnya,
kami menuju ke bukit Mando’o, sebuah tempat tertinggi di pulau Rote. Menurut
info dari penduduk sekitar, pada malam hari kita dapat melihat lampu-lampu di
kejauhan yang berasal dari benua Australia. Untuk sampai di bukit Mando’o kami
menempuh perjalanan selama 1 jam melewati jalan yang lagi-lagi kurang terawat
dan melewati sejumlah anak tangga. Bukit Mando’o juga dikenal dengan “Tangga
300” padahal jumlah anak tangga sebenarnya lebih dari 358, yaitu sebanyak 482
anak tangga. Kami kembali ke Ba’a setelah matahari terbenam dan sampai sekitar
pukul 20.00 wita. Waktunya makan malam setelah seharian berpetualangan. Ikan
bakar di alun-alu kota Ba’a menjadi pilihan kami. Memang, kami tidak salah
pilih, ikan bakar tersebut sangat enak mungkin karena ikannya segar dan racikan
bumbunya yang mantab, atau mungkin karena kami benar-benar sangat lapar saat
itu. Malam itu kami kembali ke penginapan, membersihkan diri, dan tak ada
satupun diantara kami yang melakukan aktifitas lain selain tidur.
Pagi harinya, saya menikmati sendiri sarapan pagi, segelas teh manis dan
roti yang disediakan pihak hotel, sedangkan yang lain masih menikmati tidurnya
hingga waktu dhuha. Hari ini kami akan kembali ke Kupang. Setelah semuanya
bangun, kami meninggalkan hotel dan berjalan kaki menuju pelabuhan. Kami
melewati pasar, melihat sekeliling dan membeli beberapa oleh-oleh. Tidak banyak
yang kami temui, oleh-oleh yang ada berupa tenun Rote dan beberapa olahan gula
air. Kami tidak menemui toko khusus yang menjual souvenir khas dari Rote. Lagian,
uang cash yang kami bawa juga sudah menipis. Sebagai informasi ATM yang ada hanya
ATM BRI dan Bank NTT. Tetapi, apapun itu, dengan kota yang belum berkembang,
infrastruktur yang kurang terawat, dan segala keterbatasan yang ada, liburan “dadakan”
kali ini sungguh sangat menyenangkan. Rote sebagai pulau terluar di bagian
selatan Indonesia menyembunyikan kecantikan alam yang mempesona...